LAPORAN
PRAKTIKUM DASAR BIOMEDIK 2
PEMERIKSAAN HYMENOLEPSIS NANA KLINIS
pada DIARE
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hymenolepiasis merupakan penyakit zoonosis
yang disebabkan oleh dua spesies cacing pita kerdil /dwarf tapeworm dari genus
Hymenolepis yang menginfeksi manusia. Dua spesies tersebut adalah Hymenolepis nana yang secara primer
merupakan parasit pada manusia dan Hymenolepis
diminuta yang secara primer
merupakan parasit pada tikus, mencit dan rodensia lain tetapi dapat juga
menginfeksi manusia. Hymenolepiasis nana
merupakan penyakit cacing pita yang disebabkan oleh Hymenolepis nana stadium dewasa maupun stadium larva yang
menginfeksi saluran usus manusia. Di
Indonesia kejadian hymenolepiasis nana relatif rendah dibanding dengan kejadian
infeksi oleh cacing pita lainnya. Menurut survey yang dilakukan Sri S Margono,
di Jakarta ditemukan cacing pita ini sejumlah 0,2-1 % dari seluruh sampel
survey yang diperiksa terhadap cacing pita di Indonesia, sedangkan menurut
penelitian Adi sasongko dari 101 sampel
yang diteliti hanya satu sampel yang positif terdapat telur Hymnolepis nana.(Margono SS,1989 ;
Sasongko A dkk, 2002).
Hymenolepis
nana adalah cacing pita kerdil yang merupakan
parasit paling sering dijumpai pada manusia khususnya di Asia. Karena siklus
hidupnya secara langsung, maka memungkinkan penularannya dari manusia ke
manusia dengan cepat dapat terjadi. Parasit ini merupakan cacing pita terkecil
serta satu-satunya cacing pita yang tidak memerlukan induk semang antara /
intermediate host. (Duerden BI et al.,1987 ; Brooks GF et al,1996).
Anak-anak lebih sering terinfeksi Hymenolepis nana daripada orang dewasa
terutama pada anak-anak usia 8 tahun. Pada tahun 1942 diperkirakan lebih dari
20 juta orang terinfeksi oleh cacing pita ini, survey menunjukkan bahwa angka
kejadiannya berkisar antara 0,2 – 3,7 %, walaupun pada daerah tertentu angka
kejadiannya mencapai 10 % pada anak-anak
yang menderita akibat infeksi oleh cacing pita ini ( Neva A and Brown HW,1994
; Joklik WK et al,1996 ; Markell EK et al,1992)
Manusia merupakan reservoar alamiah dan
penularan biasanya terjadi secara langsung dari manusia ke manusia lainnya
dengan cara ingesti telur yang ada dalam feces penderita. Walaupun penularan
melalui makanan dan minuman dapat juga terjadi, tetapi hal tersebut jarang
dijumpai karena telur cacing pita ini mempunyai daya tahan yang rendah diluar hostnya (Strickland
GT, 1984)
Dalam identifikasi infeksinya
perlu adanya pemeriksaan, baik dalam keadaan cacing yang masih hidup ataupun
yang telah dipulas. Cacing yang akan diperiksa tergantung dari jenis
parasitnya. Untuk cacing atau protozoa usus akan dilakukan pemeriksaan melalui
feses atau tinja (Kadarsan,2005).
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada
tidaknya telur cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga
di maksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang
yang di periksa fesesnya. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah
riwayat yang cermat dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek
yang penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat
ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan.
Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan
gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena
diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejala klinik kurang dapat dipastikan
(Gandahusada, Pribadi dan
Herry, 2000)
B.
Tujuan
Mendiagnosa dan mengidentifikasi tinja
manusia yang di ketahui mengalami diare
C.
Manfaat
Mahasiswa mampu mengetahui jenis cacing
yang menyebabkan diare pada manusia serta pencegahannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Sejarah
Hymenolepis nana ditemukan oleh Theodor Bilharz pada
tahun 1851 dalam usus halus seorang anak di Kairo. Peneliti ini juga yang
pertama kali memperkenalkan daur hidup langsung dari Hymenolepis nana. Inang
definitifnya meliputi manusia, primata, tikus, dan mencit. Hymenolepis nana
menyebabkan penyakit Hymenolepiasis. Hymenolepis nana juga pernah dilaporkan
pada tupai, monyet, dan simpanse ( Brooker, C. 2008 ).
Klasifikasi :
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Platyhelminthes
Class :
Cestoda
Genus
: Hymenolepis
Species
: Hymenolepis nana
Nama
penyakit :
Hymenolepiasis
B.
Morfologi
Gambar 2.1 Gambar 2.2
Cacing dewasa hymenolepis nana Scolex hymenolepis nana
Sumber : ( Purnomo.dkk,
2008 )
Hymenolepis nana berbentuk seperti benang dan mempunyai ukuran terkecil
jika dibandingkan dari golongan cestoda yang ditemukan pada manusia,.
Panjangnya kira-kira 25-40 mm dan lebarnya 1 mm. Terbagi atas kepala (skoleks),
leher dan sederet segmen-segmen yang membentuk rantai atau strobila
( Neva A and Brown HW, 1994 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009).
Skoleks berbentuk bulat kecil, mempunyai 4 batil isap
dan rostellum yang pendek dilengkapi dengan satu deret kait berjumlah 20-30
kait yang berfungsi untuk melekatkan diri pada permukaan mukosa intestin inang.
Dibelakang kepala terdapat leher yang merupakan bagian yang bersifat
poliferatif untuk membentuk segmen-segmen baru. Strobila terdiri atas
proglotid-proglotid immature (segmen muda) – mature (segmen dewasa) – dan
gravid, kurang lebih 200 segmen. Segmen dewasa (segmen mature) memiliki satu
set alat reproduksi sendiri. Lubang genital terletak unilateral, terdapat 3
testis dan 1 ovarium ( Purnomo.dkk, 2008 ).
Ukuran strobila biasanya berbanding terbalik dengan
jumlah cacing yang ada dalam hospes. Strobila dimulai dengan proglotid imatur
yang sangat pendek dan sempit, lebih ke distal menjadi lebih lebar dan luas.
Pada ujung distal strobila membulat. Di dalam proglotid gravid uterus membentuk
kantong mengandung 80-180 telur ( Sandjaja,Bernadus. 2007 ).
Telur keluar dari proglotid paling distal
(proglotid gravid) yang hancur. Bentuknya lonjong, mirip buah lemon
(ovoid) berukuran 30-47 mikron, mempunyai lapisan kulit yang terdiri dari dua
membran sebelah dalam dengan penebalan pada kedua kutub, dari masing-masing
kutub keluar 4-8 filamen. Telur berisi embrio heksakan atau embrio dengan 3
pasang kait (onkosfer). Penyerapan makanan melalui tegumen (bagian luar tubuh
cestoda yang berfungsi absortif dan metabolit) dan alat ekskresinya berupa sel
api / flame cell ( Sandjaja,Bernadus. 2007 ).
C.
Siklus hidup

Gambar 2.3 siklus hidup hymenolepis nana
Sumber:
Centers for Diseases Control and Prevention, Atlanta.
http://www.cdc.gov/parasites/hymenolepis.
Tikus adalah host definitif primer.
Sedangkan serangga (kumbang/kutu) adalah host perantara yang
terkontaminasi kotoran hewan pengerat. Penularan secara langsung terjadi
melalui jari yang tercemar telur cacing (auto infeksi atau dari orang ke
orang). Dapat juga terjadi dikarenakan manusia menelan serangga yaitu berbagai
jenis kumbang seperti kumbang beras (Sitophilus oryzae) atau kumbang
tepung (Gnatocerus cornutus) yang mengandung cysticercoid di
tubuh kumbang (Natadisastra D dan Agoes R, 2009).
Habitat cacing ini adalah pada 2/3 bagian
atas dari ileum. Cacing ini dapat hidup sampai beberapa minggu, sedangkan telur
cacing ini hanya dapat bertahan hidup selama 2 minggu setelah dikeluarkan
bersama feses hostnya. Hospes definitif dari cacing ini adalah manusia, mencit
dan tikus. Cacing ini di dalam siklus hidupnya tidak memerlukan hospes
perantara, kecuali Hymenolepis nana
var. fraterna yang hospes alamiahnya
adalah tikus dan menggunakan flea serta kumbang sebagai hospes perantaranya.
Proglotid gravid Hymenolepis nana
akan pecah didalam usus penderita dan mengeluarkan telur yang segera menjadi
infektif bila dikeluarkan bersama feses penderita. Manusia tertular jika
memakan telur cacing ini. Di dalam usus halus, telur akan menetas menjadi
oncospher dan menembus villi usus halus serta akan kehilangan kaitnya.
Selanjutnya dalam 4 hari kemudian akan menjadi larva cysticercoid. Larva ini
terdapat pada tunica propria usus halus penderita. Beberapa hari kemudian larva
ini akan kembali ke lumen usus penderita untuk menjadi dewasa dalam waktu 2
minggu. ( Neva A and Brown HW, 1994 ; Duerden BI, 1987).
Dalam 30 hari setelah infeksi, dapat
ditemukan telur dalam tinja hospes. Kadang-kadang telur dapat menetas di dalam
lumen usus halus penderita kemudian oncospher akan menembus villi usus dan
siklus hidupnya akan berulang kembali. Cara infeksi yang demikian ini disebut
sebagai autoinfeksi interna yang dapat memperberat infeksi sehingga
memungkinkan terjadi reinfeksi pada individu yang sama. (Neva A and Brown HW,
1994 ; Joklik WK, 1996).
D.
Patogenesis
Perubahan patologis akibat Himenolepiasis
nana tergantung pada intensitas infeksi, status imunologis hospes dan adanya
penyakit-penyakit lain yang menyertainya. Akibat infeksi dari cacing ini
biasanya tidak menimbulkan kerusakan pada mukosa usus tetapi dapat terjadi
desquamasi sel epithel dan nekrosis pada tempat perlekatan cacing dewasa,
sehingga dapat menimbulkan enteritis pada infeksi yang berat (Natadisastra D dan Agoes R, 2009).
Infeksi yang ringan biasanya tidak menimbulkan gejala
klinis atau asymptomatis atau hanya timbul gangguan pada perut yang terlihat
kurang nyata. Pada infeksi yang berat akibat infestasi lebih dari 1000
cacing, terutama pada anak-anak yang biasanya merupakan autoinfeksi interna
dapat menimbulkan gejala berupa kurangnya nafsu makan, penurunan berat badan,
nyeri epigastrium, nyeri perut dengan atau tanpa diare yang disertai darah,
mual, muntah, pusing, toxaemia, pruritus anal, uticaria serta gangguan syaraf
misalnya irritabilitas, konvulsi dan kegelisahan. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK, 1996; Maegraith B, 1985; Manson-Bahr PEC and
Bell DR, 1987; Ghaffar A and Brower G, 2010; Roberts L and Janovy Jr, 2000;
Markell EK, 1992; Strickland GT, 1984)
Hymenolepiasis nana yang
berat pada anak – anak dapat menimbulkan asthenia, penurunan Berat badan,
hilangnya nafsu makan, insomnia, nyeri perut disertai diare, muntah , pusing ,
gangguan saraf serta reaksi alergi pada anak yang sensitive. Anemia sekunder
dan eosinofilia antara 4-16% kemungkinan dapat pula terjadi. Pada anak – anak
juga sering terjadi autoinfeksi interna sehingga dimungkinkan terjadi infeksi
berat yaitu diare bercampur darah, sakit perut dan gangguan sistemik yang berat
(Soedarto,2008 ; Ongkowaluyo JS, 2002).
E.
Diagnosa
Gejala klinis pada hymenolepiasis nana
biasanya tidak jelas sehingga diagnosa penyakit ini tergantung pada pemeriksaan
laboratorium dengan ditemukannya telur dalam feses penderita. Proglotid
biasanya tidak ditemukan di dalam feses, karena telah mengalami desintegrasi di
dalam usus sebelum dikeluarkan. Bila ditemukan cacing dewasa dalam feses,
indentifikasi dilakukan pada bagian scolexnya yang berbeda dengan cacing pita
yang lain. (Joklik WK, 1996)
Diagnosa pasti terhadap hymenolepiasis
nana dapat ditegakkan dengan menemukan telur yang mempunyai gambaran khas pada
feces penderita. Telur Hymenolepis nana
dapat dibedakan dengan telur Hymenolepis
diminuta, karena telur Hymenolepis
nana ukurannya relatif lebih kecil
dan mempunyai 4-8 filamen yang disebut
sebagai polar filament, sedangkan telur Hymenolepis
diminuta ukurannya relatif lebih besar dan tidak mempunyai polar filament.
(Markell B, 1992)
F.
Pengobatan
Sebagai obat pilihan dapat diberikan
Niclosamide /Yomesan dengan dosis 2,0 gram, dikunyah, sekali sehari diberikan
selama 5-7 hari. Obat lain yaitu Praziquantel peroral dengan dosis tunggal 15
mg/kg barat badan diberikan setelah makan pagi. Praziquantel ternyata cukup
toleran dan berhasil lebih baik daripada niclosamide. Obat ini akan menimbulkan
pembentukan vakuola pada leher cacing. Obat lain yang dapat digunakan adalah
Paramomysin dan Quinacrine walaupun dalam hal ini Paramomysin kurang efektif,
sedangkan Quinacrine sedikit bersifat
toxic. (Joklik WK,1996; Markell EK et al, 1992).
G.
Pencegahan
Infeksi oleh cacing pita ini umumnya
terjadi secara langsung dari tangan ke
mulut. Pada manusia infeksi selalu disebabkan oleh telur yang tertelan dari benda yang terkontaminasi
tanah, dari tempat-tempat defekasi atau langsung dari anus ke mulut. Karena
penularan cacing pita ini secara langsung dan manusia sebagai sumber infeksi
utama maka pencegahannya agak sulit dilakukan. Untuk menekan dan menghindari
infeksi cacing pita ini, perlu meningkatkan kebersihan lingkungan, kebersihan
perorangan terutama pada keluarga besar, meningkatkan kesadaran dan higienes
pada anak-anak, mengobati penderita sehingga tidak menjadi sumber penularan
serta memberantas hospes reservoar sebagai sumber infeksi seperti tikus dan
hewan pengerat lainnya. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK et al, 1996; Onggowaluyo
JS, 2002)
BAB III
METODOLOGI
A.
Alat dan bahan
Alat- alat yang digunakan pada praktikum ini adalah
1.
Mikroskop
2.
Kaca sediaan ( kaca obyek )
3.
Lidi
4.
Kaca penutup
5.
Botol berlisol
6.
Tabung reaksi kapasitas 10 ml
7.
Rak tabung reaksi
Reagen :
1.
NaCl 0,85 %
2.
Eosin 1-2 %
3.
Lugol 1-2 %
B.
Cara kerja
1.
Menyiapkan kaca sediaan yang
bersih dan kering
2.
Tetesi 1 tetes larutan NaCl atau
eosin
3.
Dengan ujung batang lidi ambil
sedikit tinja yang akan diperiksa
4.
Tinja tadi diaduk-aduk dengan lidi
tersebut dalam tetesan larutan sampai diperoleh suspensi yang tipis dan rata.
Bagian-bagian yang keras seperti serabut-serabut atau passir dibuang.
5.
Tutuplah sediaan dengan kaca
penutup
6.
Lidi bekas dibuang ke botol
berlisol
7.
Periksa sediaan dibawah mikroskop
dengan perbesaran 10 atau 40 x
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil pengamatan telur hymenolepis nana
Sumber : Centers for Diseases
Control and Prevention, Atlanta. http://www.cdc.gov/parasites/hymenolepis.
|
Ukuran : 47 x 37 mikron
|
Bentuk : Bulan/ bujur
|
Berisi :
Embrio Heksakan
|
Perbesaran : 40x 10
|
Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk
telur Hymenolepis nana adalah bulat
seperti bulan, serta ada juga di
sekeliling telur itu yang berbentuk bujur panjang dan tipis. Selain itu, warna
dari telur Hymenolepis nana tersebut
adalah kuning bening serta ada sedikit
bagian yang berwarna biru. Di dalam telur Hymenolepis
nana juga terlihat adanya embrio heksakan yang berbentuk bulat berwarna
kuning keemasan.
B. Pembahasan
Dari hasil pengamatan, ditemukan telur
cacing Hymenolepis nana pada
tinja sebagai penyebab diare. Cacing ini menginfeksi manusia dengan cara
hidup di dalam usus manusia. Manusia sebagai reservoar
alamiah penularan bisa terjadi secara langsung dari manusia ke manusia lainnya
dengan cara ingesti telur yang ada dalam feces penderita. Walaupun penularan
melalui makanan dan minuman dapat juga terjadi, tetapi hal tersebut jarang
dijumpai karena telur cacing pita ini mempunyai daya tahan yang rendah diluar
hostnya. Larva dari flea dan kumbang dapat terinfeksi setelah ingesti telur
cacing pita ini dan berkembang menjadi cisticercoid di dalam hemocoelenya.
Infeksi terjadi diawali dengan tertelannya
telur H. nana yang ada di kotoran manusia atau hewan (tikus) yang
mencemari makanan atau air minum. Penularan secara langsung terjadi melalui
jari yang tercemar telur cacing (auto infeksi atau dari orang ke orang). Dapat
juga terjadi dikarenakan manusia menelan serangga yaitu berbagai jenis kumbang
seperti kumbang beras (Sitophilus oryzae) atau kumbang tepung (Gnatocerus
cornutus) yang mengandung cysticercoid di tubuh kumbang.
Telur yang berada di dalam usus berkembang
menjadi larva cysticercoid, menempel pada mukosa usus halus, dan
berkembang menjadi cacing dewasa dan selanjutnya akan bereproduksi menghasilkan
telur. Telur yang keluar bersama tinja langsung infektif. Lama hidup cacing
dewasa di dalam tubuh 1—1,5 bulan. Di dalam tubuh pun bisa juga terjadi auto
infeksi. Telur melepaskan embrio hexacanth, menembus villi usus untuk
melanjutkan siklus infektif tanpa melalui lingkungan luar tubuh. Jika terjadi
outo infeksi kemungkinan dapat berlangsung sampai bertahun-tahun. Jumlah cacing
yang berada dalam usus seorang penderita tergantung dari banyaknya telur
infektif yang tertelan, bahkan dapat mencapai lebih dari seribu ekor.
Infeksi yang ditimbulkan Hymenolepis nana biasanya
tanpa gejala atau dapat juga dalam bentuk infeksi ringan. Gejala yang dirasakan
bagi penderita infeksi berat adalah sakit kepala, pusing, anoreksi, nyeri perut
yang disertai diare atau tidak, mual, muntah, dan kehilangan berat badan. Dapat
juga terjadi eosinofilia dengan derajat yang rendah 5—10%. Infeksi berat yang dirasakan kemungkinan besar terjadi
dikarenakan adanya auto infeksi. Autoinfeksi adalah dapat terjadi
pada infeksi H.nana, dimana telur
mampu mengeluarkan embrio hexacanth mereka
yang kemudian menembus villus dan meneruskan siklus infektif tanpa melalui
lingkungan luar. Hal ini menyebabkan cacing dapat memperbanyak diri dalam tubuh
hospes.
Banyak faktor yang dapat menimbulkan
tinggi-rendahnya prevalens hymenolepiasis, antara lain keadaan kurang
gizi pada anak-anak, kondisi iklim tropis, turunnya daya tahan tubuh, perilaku
hidup bersih yang ada dalam keluarga, dan buruknya kondisi sanitasi dengan
ditandai oleh terbatasnya ketersediaan air bersih dan sarana pembuangan kotoran
manusia serta sampah, dan kondisi lingkungan pemukiman yang memudahkan tikus
bersarang.
Kondisi hygiene perorangan, termasuk perilaku,
dan upaya sanitasi lingkungan merupakan faktor utama pencegahan hymenolepiasis.
Faktor perilaku, terutama bagi anak-anak lebih mudah diubah dan dibentuk
untuk dapat menjalani pola hidup bersih dan sehat. Upaya seperti ini dapat
dilaksanakan melalui sekolah dan lingkungan.
Oleh karena itu untuk dapat mengatasi infeksi cacing
secara tuntas, maka upaya pencegahan dan terapi merupakan usaha yang sangat
bijaksana dalam memutus siklus penyebaran infeksinya. Pemberian obat anti
cacing secara berkala setiap enam bulan dapat pula dikerjakan. Menjaga
kebersihan diri dan lingkungan serta sumber bahan pangan adalah sebagian dari
usaha pencegahan untuk menghindari dari infeksi cacing. Memasyarakatkan
cara-cara hidup sehat terutama pada anak-anak usia sekolah dasar, dimana usia
ini merupakan usia yang sangat peka untuk menanamkan dan memperkenalkan
kebiasaan-kebiasaan baru yaitu kebiasaan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan
secara berkala.
BAB
V
KESIMPULAN
Hymenolepis nana merupakan species dari cestoda yang
ukurannya sangat kecil.Hospes definitive dari cacing ini adalah manusia .Hospes
rosevoarnya adalah mencit,tikus dan beberapa jenis hewan pengerat(rodent) lainnya.Penyakit
yang disebabkan oleh cacing ini disebut hymenolepiasis nana..Hidup cacing ini
tersebar didaerah tropis dan subtropis.Sering menyerang pada anak-anak dibawah
usia 8 tahun. Upaya pencegahan dan pengendalian hymenolepiasis
dapat terlaksana dengan baik jika masyarakat dapat menerapkan pola hidup
bersih dan sehat dengan menjalankan prinsip personal hygiene dan sanitasi
lingkungan yang baik. Upaya tersebut di atas, secara efektif dapat memutus
siklus epidemiologi penyakit.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Mohammad
MA dan Hegazi MA. “Intestinal Permeability in Hymenolepis nana as Reflected by non
Invasive Lactulose/Mannitol Dual Permeability Test
and its Impaction on Nutritional Parameters
of Patients”. Journal of the Egyptian Society
of Parasitology. 2007 Dec; 37 (3).
Pp 877—891.
Peter
R. Mason and Barbara A. Patterson. “Epidemiology of Hymenolepis nana Infections in Primary School Children in Urban and Rural Communities in Zimbabwe”. The Journal of Parasitology. Vol. 80, No. 2 (Apr., 1994), pp. 245-250. Published by: The
American Society of Parasitologists.
Article Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3283754
Nazim
Kanwal. “A Review on Diarrhoea Causing Hymenolepis nana Dwarf Tapeworm”. International Research Journal of Pharmacy. 2013.
Mariwan
Musa Muhammad Bajalan. “Epidemiological Study of Hymenolepis nana in Children in Kalar City, Sulaimani Province”. Diyala
Journal for Pure Sciences, Vol.
6 No: 4, October 2010.
Gandahusada,
S. W Pribadi dan D.I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran Fakulas Kedokteran UI : Jakarta
Richard,dkk. 2008. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Jakarta : EGC
Neva
A and Brown HW .1994. Basic Clinical Parasitology. 6 th Ed.
Prentice-Hall International Inc. hal
191-193
Ghaffar
A and Brower G.2009. Cestoda (on line) http:www.med.sc.edu:85/parasitology/cestodes.htm
April,15,2010 . Diakses 30
Nopember 2009.
Hartono.
2005. Penyakit Bawaan Makanan. Jakarta: EGC. Hart, Tony. 1997. Color Atlas
of Medical Microbiology. London : Times Mirror International
Publishers Limited
Estuningsih.
SE. 2009. Taeniasis dan Sistiserkosis merupakan Penyakit Zoonosis Parasiter. Wartazoa Vol. 19 No. 2 hal 89-92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar