Jumat, 14 April 2017

LAPORAN PRAKTIKUM DASAR BIOMEDIK 2

          PEMERIKSAAN HYMENOLEPSIS NANA KLINIS pada DIARE
        BAB I
                                                PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hymenolepiasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh dua spesies cacing pita kerdil /dwarf tapeworm dari genus Hymenolepis yang menginfeksi manusia. Dua spesies tersebut adalah Hymenolepis nana yang secara primer merupakan parasit pada manusia dan Hymenolepis diminuta  yang secara primer merupakan parasit pada tikus, mencit dan rodensia lain tetapi dapat juga menginfeksi manusia. Hymenolepiasis nana merupakan penyakit cacing pita yang disebabkan oleh Hymenolepis nana stadium dewasa maupun stadium larva yang menginfeksi saluran usus  manusia. Di Indonesia kejadian hymenolepiasis nana relatif rendah dibanding dengan kejadian infeksi oleh cacing pita lainnya. Menurut survey yang dilakukan Sri S Margono, di Jakarta ditemukan cacing pita ini sejumlah 0,2-1 % dari seluruh sampel survey yang diperiksa terhadap cacing pita di Indonesia, sedangkan menurut penelitian Adi sasongko dari  101 sampel yang diteliti hanya satu sampel yang positif terdapat telur Hymnolepis nana.(Margono SS,1989 ; Sasongko A dkk, 2002).
Hymenolepis nana adalah cacing pita kerdil yang merupakan parasit paling sering dijumpai pada manusia khususnya di Asia. Karena siklus hidupnya secara langsung, maka memungkinkan penularannya dari manusia ke manusia dengan cepat dapat terjadi. Parasit ini merupakan cacing pita terkecil serta satu-satunya cacing pita yang tidak memerlukan induk semang antara / intermediate host. (Duerden BI et al.,1987 ; Brooks GF et al,1996).
Anak-anak lebih sering terinfeksi Hymenolepis nana daripada orang dewasa terutama pada anak-anak usia 8 tahun. Pada tahun 1942 diperkirakan lebih dari 20 juta orang terinfeksi oleh cacing pita ini, survey menunjukkan bahwa angka kejadiannya berkisar antara 0,2 – 3,7 %, walaupun pada daerah tertentu angka kejadiannya mencapai 10 %  pada anak-anak yang menderita akibat infeksi oleh cacing pita ini ( Neva A and Brown HW,1994 ;  Joklik WK et al,1996 ;  Markell EK et al,1992)
Manusia merupakan reservoar alamiah dan penularan biasanya terjadi secara langsung dari manusia ke manusia lainnya dengan cara ingesti telur yang ada dalam feces penderita. Walaupun penularan melalui makanan dan minuman dapat juga terjadi, tetapi hal tersebut jarang dijumpai karena telur cacing pita ini mempunyai daya  tahan yang rendah diluar hostnya (Strickland GT, 1984)
Dalam identifikasi infeksinya perlu adanya pemeriksaan, baik dalam keadaan cacing yang masih hidup ataupun yang telah dipulas. Cacing yang akan diperiksa tergantung dari jenis parasitnya. Untuk cacing atau protozoa usus akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja (Kadarsan,2005).

Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan. Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau  menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejala klinik kurang dapat dipastikan (Gandahusada, Pribadi dan Herry, 2000)

B.     Tujuan
     Mendiagnosa dan mengidentifikasi tinja manusia yang di ketahui mengalami diare
C.    Manfaat
      Mahasiswa mampu mengetahui jenis cacing yang menyebabkan diare pada manusia serta pencegahannya.



















    BAB II
                                      TINJAUAN PUSTAKA
A.    Sejarah
Hymenolepis nana ditemukan oleh Theodor Bilharz pada tahun 1851 dalam usus halus seorang anak di Kairo. Peneliti ini juga yang pertama kali memperkenalkan daur hidup langsung dari Hymenolepis nana. Inang definitifnya meliputi manusia, primata, tikus, dan mencit. Hymenolepis nana menyebabkan penyakit Hymenolepiasis. Hymenolepis nana juga pernah dilaporkan pada tupai,  monyet, dan simpanse ( Brooker, C. 2008 ).
Klasifikasi :
Kingdom              : Animalia
Phylum                 : Platyhelminthes
Class                    : Cestoda
Ordo                     : Cyclophyllidea
Family                  : Hymenolepididae
Genus                   : Hymenolepis
Species                 : Hymenolepis nana
Nama penyakit      : Hymenolepiasis

B.     Morfologi
      https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLYB5o7v35ETBtaN3SAyhLTPl3O01ZFPXmflqCZfYiHdF3QELUp1paTsoqgt1sgdazOK1ly-Loxp8pi2Jo4ZO3Ddjmk-RWuoQxFbng7uZnq_P5gKwIt3DuShfyXywlGV_KvWLwJWZxEw4/s1600/220px-H_nana_adultF.JPG                   msoBA45B
               Gambar 2.1                                                        Gambar 2.2
 Cacing dewasa hymenolepis nana                       Scolex hymenolepis nana

Sumber : ( Purnomo.dkk, 2008 )

Hymenolepis nana berbentuk seperti benang dan  mempunyai ukuran terkecil jika dibandingkan dari golongan cestoda yang ditemukan pada manusia,. Panjangnya kira-kira 25-40 mm dan lebarnya 1 mm. Terbagi atas kepala (skoleks), leher dan sederet segmen-segmen yang membentuk rantai atau strobila ( Neva A and Brown HW, 1994 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009).

Skoleks berbentuk bulat kecil, mempunyai 4 batil isap dan rostellum yang pendek dilengkapi dengan satu deret kait berjumlah 20-30 kait yang berfungsi untuk melekatkan diri pada permukaan mukosa intestin inang. Dibelakang kepala terdapat leher yang merupakan bagian yang bersifat poliferatif untuk membentuk segmen-segmen baru. Strobila terdiri atas proglotid-proglotid immature (segmen muda) – mature (segmen dewasa) – dan gravid, kurang lebih 200 segmen. Segmen dewasa (segmen mature) memiliki satu set alat reproduksi sendiri. Lubang genital terletak unilateral, terdapat 3 testis dan 1 ovarium ( Purnomo.dkk, 2008 ).

Ukuran strobila biasanya berbanding terbalik dengan jumlah cacing yang ada dalam hospes. Strobila dimulai dengan proglotid imatur yang sangat pendek dan sempit, lebih ke distal menjadi lebih lebar dan luas. Pada ujung distal strobila membulat. Di dalam proglotid gravid uterus membentuk kantong mengandung 80-180 telur ( Sandjaja,Bernadus. 2007 ).
Telur keluar dari proglotid paling distal  (proglotid gravid) yang hancur. Bentuknya lonjong, mirip buah lemon (ovoid) berukuran 30-47 mikron, mempunyai lapisan kulit yang terdiri dari dua membran sebelah dalam dengan penebalan pada kedua kutub, dari masing-masing kutub keluar 4-8 filamen. Telur berisi embrio heksakan atau embrio dengan 3 pasang kait (onkosfer). Penyerapan makanan melalui tegumen (bagian luar tubuh cestoda yang berfungsi absortif dan metabolit) dan alat ekskresinya berupa sel api / flame cell ( Sandjaja,Bernadus. 2007 ).
C.    Siklus hidup
   
                                          Gambar 2.3 siklus hidup hymenolepis nana
Sumber: Centers for Diseases Control and Prevention, Atlanta. http://www.cdc.gov/parasites/hymenolepis.
Tikus adalah host definitif primer. Sedangkan serangga (kumbang/kutu) adalah host perantara yang terkontaminasi kotoran hewan pengerat. Penularan secara langsung terjadi melalui jari yang tercemar telur cacing (auto infeksi atau dari orang ke orang). Dapat juga terjadi dikarenakan manusia menelan serangga yaitu berbagai jenis kumbang seperti kumbang beras (Sitophilus oryzae) atau kumbang tepung (Gnatocerus cornutus) yang mengandung cysticercoid di tubuh kumbang  (Natadisastra D  dan Agoes R, 2009).
Habitat cacing ini adalah pada 2/3 bagian atas dari ileum. Cacing ini dapat hidup sampai beberapa minggu, sedangkan telur cacing ini hanya dapat bertahan hidup selama 2 minggu setelah dikeluarkan bersama feses hostnya. Hospes definitif dari cacing ini adalah manusia, mencit dan tikus. Cacing ini di dalam siklus hidupnya tidak memerlukan hospes perantara, kecuali Hymenolepis nana var. fraterna yang hospes alamiahnya adalah tikus dan menggunakan flea serta kumbang sebagai hospes perantaranya. Proglotid gravid Hymenolepis nana akan pecah didalam usus penderita dan mengeluarkan telur yang segera menjadi infektif bila dikeluarkan bersama feses penderita. Manusia tertular jika memakan telur cacing ini. Di dalam usus halus, telur akan menetas menjadi oncospher dan menembus villi usus halus serta akan kehilangan kaitnya. Selanjutnya dalam 4 hari kemudian akan menjadi larva cysticercoid. Larva ini terdapat pada tunica propria usus halus penderita. Beberapa hari kemudian larva ini akan kembali ke lumen usus penderita untuk menjadi dewasa dalam waktu 2 minggu. ( Neva A and Brown HW, 1994 ; Duerden BI, 1987).
Dalam 30 hari setelah infeksi, dapat ditemukan telur dalam tinja hospes. Kadang-kadang telur dapat menetas di dalam lumen usus halus penderita kemudian oncospher akan menembus villi usus dan siklus hidupnya akan berulang kembali. Cara infeksi yang demikian ini disebut sebagai autoinfeksi interna yang dapat memperberat infeksi sehingga memungkinkan terjadi reinfeksi pada individu yang sama. (Neva A and Brown HW, 1994 ; Joklik WK, 1996).
D.    Patogenesis
Perubahan patologis akibat Himenolepiasis nana tergantung pada intensitas infeksi, status imunologis hospes dan adanya penyakit-penyakit lain yang menyertainya. Akibat infeksi dari cacing ini biasanya tidak menimbulkan kerusakan pada mukosa usus tetapi dapat terjadi desquamasi sel epithel dan nekrosis pada tempat perlekatan cacing dewasa, sehingga dapat menimbulkan enteritis pada infeksi yang berat  (Natadisastra D  dan Agoes R, 2009).
Infeksi yang ringan biasanya tidak menimbulkan gejala klinis atau asymptomatis atau hanya timbul gangguan pada perut yang terlihat kurang nyata. Pada infeksi yang berat  akibat infestasi lebih dari 1000 cacing, terutama pada anak-anak yang biasanya merupakan autoinfeksi interna dapat menimbulkan gejala berupa kurangnya nafsu makan, penurunan berat badan, nyeri epigastrium, nyeri perut dengan atau tanpa diare yang disertai darah, mual, muntah, pusing, toxaemia, pruritus anal, uticaria serta gangguan syaraf misalnya irritabilitas, konvulsi dan kegelisahan. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK, 1996; Maegraith B, 1985; Manson-Bahr PEC and Bell DR, 1987; Ghaffar A and Brower G, 2010; Roberts L and Janovy Jr, 2000; Markell EK, 1992; Strickland GT, 1984)
Hymenolepiasis nana yang berat pada anak – anak dapat menimbulkan asthenia, penurunan Berat badan, hilangnya nafsu makan, insomnia, nyeri perut disertai diare, muntah , pusing , gangguan saraf serta reaksi alergi pada anak yang sensitive. Anemia sekunder dan eosinofilia antara 4-16% kemungkinan dapat pula terjadi. Pada anak – anak juga sering terjadi autoinfeksi interna sehingga dimungkinkan terjadi infeksi berat yaitu diare bercampur darah, sakit perut dan gangguan sistemik yang berat (Soedarto,2008 ; Ongkowaluyo JS, 2002).
E.     Diagnosa
Gejala klinis pada hymenolepiasis nana biasanya tidak jelas sehingga diagnosa penyakit ini tergantung pada pemeriksaan laboratorium dengan ditemukannya telur dalam feses penderita. Proglotid biasanya tidak ditemukan di dalam feses, karena telah mengalami desintegrasi di dalam usus sebelum dikeluarkan. Bila ditemukan cacing dewasa dalam feses, indentifikasi dilakukan pada bagian scolexnya yang berbeda dengan cacing pita yang lain. (Joklik WK, 1996)
Diagnosa pasti terhadap hymenolepiasis nana dapat ditegakkan dengan menemukan telur yang mempunyai gambaran khas pada feces penderita. Telur Hymenolepis nana dapat dibedakan dengan telur Hymenolepis diminuta, karena telur Hymenolepis nana  ukurannya relatif lebih kecil dan mempunyai  4-8 filamen yang disebut sebagai polar filament, sedangkan telur Hymenolepis diminuta ukurannya relatif lebih besar dan tidak mempunyai polar filament. (Markell B, 1992)
F.     Pengobatan
Sebagai obat pilihan dapat diberikan Niclosamide /Yomesan dengan dosis 2,0 gram, dikunyah, sekali sehari diberikan selama 5-7 hari. Obat lain yaitu Praziquantel peroral dengan dosis tunggal 15 mg/kg barat badan diberikan setelah makan pagi. Praziquantel ternyata cukup toleran dan berhasil lebih baik daripada niclosamide. Obat ini akan menimbulkan pembentukan vakuola pada leher cacing. Obat lain yang dapat digunakan adalah Paramomysin dan Quinacrine walaupun dalam hal ini Paramomysin kurang efektif, sedangkan Quinacrine  sedikit bersifat toxic. (Joklik WK,1996; Markell EK et al, 1992).
G.    Pencegahan
Infeksi oleh cacing pita ini umumnya terjadi secara langsung dari    tangan ke mulut. Pada manusia infeksi selalu disebabkan oleh telur yang   tertelan dari benda yang terkontaminasi tanah, dari tempat-tempat defekasi atau langsung dari anus ke mulut. Karena penularan cacing pita ini secara langsung dan manusia sebagai sumber infeksi utama maka pencegahannya agak sulit dilakukan. Untuk menekan dan menghindari infeksi cacing pita ini, perlu meningkatkan kebersihan lingkungan, kebersihan perorangan terutama pada keluarga besar, meningkatkan kesadaran dan higienes pada anak-anak, mengobati penderita sehingga tidak menjadi sumber penularan serta memberantas hospes reservoar sebagai sumber infeksi seperti tikus dan hewan pengerat lainnya. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK et al, 1996; Onggowaluyo JS, 2002)


BAB III
                             METODOLOGI
A.    Alat dan bahan
Alat- alat yang digunakan pada praktikum ini adalah
1.      Mikroskop
2.      Kaca sediaan ( kaca obyek )
3.      Lidi
4.      Kaca penutup
5.      Botol berlisol
6.      Tabung reaksi kapasitas 10 ml
7.      Rak tabung reaksi
Reagen :
1.      NaCl    0,85 %
2.      Eosin   1-2 %
3.      Lugol   1-2 %
B.     Cara kerja
1.      Menyiapkan kaca sediaan yang bersih dan kering
2.      Tetesi 1 tetes larutan NaCl atau eosin
3.      Dengan ujung batang lidi ambil sedikit tinja yang akan diperiksa
4.      Tinja tadi diaduk-aduk dengan lidi tersebut dalam tetesan larutan sampai diperoleh suspensi yang tipis dan rata. Bagian-bagian yang keras seperti serabut-serabut atau passir dibuang.
5.      Tutuplah sediaan dengan kaca penutup
6.      Lidi bekas dibuang ke botol berlisol
7.      Periksa sediaan dibawah mikroskop dengan perbesaran 10 atau 40 x
       BAB IV
    HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    Hasil
Hasil pengamatan telur hymenolepis nana
                                 http://public.health.oregon.gov/LaboratoryServices/ImageLibrary/PublishingImages/Hymenolepis-nana.jpg
Sumber : Centers for Diseases Control and Prevention, Atlanta. http://www.cdc.gov/parasites/hymenolepis.
Ukuran : 47 x 37 mikron
Bentuk : Bulan/ bujur
Berisi   : Embrio Heksakan
Perbesaran : 40x 10

      Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk telur Hymenolepis nana adalah bulat seperti bulan,  serta ada juga di sekeliling telur itu yang berbentuk bujur panjang dan tipis. Selain itu, warna dari telur Hymenolepis nana tersebut adalah kuning bening  serta ada sedikit bagian yang berwarna biru. Di dalam telur Hymenolepis nana juga terlihat adanya embrio heksakan yang berbentuk bulat berwarna kuning keemasan.


B.     Pembahasan
      Dari hasil pengamatan, ditemukan telur cacing Hymenolepis nana  pada  tinja sebagai penyebab diare. Cacing ini menginfeksi manusia dengan cara hidup di dalam usus manusia. Manusia sebagai reservoar alamiah penularan bisa terjadi secara langsung dari manusia ke manusia lainnya dengan cara ingesti telur yang ada dalam feces penderita. Walaupun penularan melalui makanan dan minuman dapat juga terjadi, tetapi hal tersebut jarang dijumpai karena telur cacing pita ini mempunyai daya tahan yang rendah diluar hostnya. Larva dari flea dan kumbang dapat terinfeksi setelah ingesti telur cacing pita ini dan berkembang menjadi cisticercoid di dalam hemocoelenya.

Infeksi terjadi diawali dengan tertelannya telur H. nana yang ada di kotoran manusia atau hewan (tikus) yang mencemari makanan atau air minum. Penularan secara langsung terjadi melalui jari yang tercemar telur cacing (auto infeksi atau dari orang ke orang). Dapat juga terjadi dikarenakan manusia menelan serangga yaitu berbagai jenis kumbang seperti kumbang beras (Sitophilus oryzae) atau kumbang tepung (Gnatocerus cornutus) yang mengandung cysticercoid di tubuh kumbang.

Telur yang berada di dalam usus berkembang menjadi larva cysticercoid, menempel pada mukosa usus halus, dan berkembang menjadi cacing dewasa dan selanjutnya akan bereproduksi menghasilkan telur. Telur yang keluar bersama tinja langsung infektif. Lama hidup cacing dewasa di dalam tubuh 1—1,5 bulan. Di dalam tubuh pun bisa juga terjadi auto infeksi. Telur melepaskan embrio hexacanth, menembus villi usus untuk melanjutkan siklus infektif tanpa melalui lingkungan luar tubuh. Jika terjadi outo infeksi kemungkinan dapat berlangsung sampai bertahun-tahun. Jumlah cacing yang berada dalam usus seorang penderita tergantung dari banyaknya telur infektif yang tertelan, bahkan dapat mencapai lebih dari seribu ekor.

Infeksi yang ditimbulkan Hymenolepis nana biasanya tanpa gejala atau dapat juga dalam bentuk infeksi ringan. Gejala yang dirasakan bagi penderita infeksi berat adalah sakit kepala, pusing, anoreksi, nyeri perut yang disertai diare atau tidak, mual, muntah, dan kehilangan berat badan. Dapat juga terjadi eosinofilia dengan derajat yang rendah 5—10%. Infeksi berat yang dirasakan kemungkinan besar terjadi dikarenakan adanya auto infeksi. Autoinfeksi adalah dapat terjadi pada infeksi H.nana, dimana telur mampu mengeluarkan embrio hexacanth mereka yang kemudian menembus villus dan meneruskan siklus infektif tanpa melalui lingkungan luar. Hal ini menyebabkan cacing dapat memperbanyak diri dalam tubuh hospes.

Banyak faktor yang dapat menimbulkan tinggi-rendahnya prevalens hymenolepiasis, antara lain keadaan kurang gizi pada anak-anak, kondisi iklim tropis, turunnya daya tahan tubuh, perilaku hidup bersih yang ada dalam keluarga, dan buruknya kondisi sanitasi dengan ditandai oleh terbatasnya ketersediaan air bersih dan sarana pembuangan kotoran manusia serta sampah, dan kondisi lingkungan pemukiman yang memudahkan tikus bersarang.

Kondisi hygiene perorangan, termasuk perilaku, dan upaya sanitasi lingkungan merupakan faktor utama pencegahan hymenolepiasis. Faktor perilaku, terutama bagi anak-anak lebih mudah diubah dan dibentuk untuk dapat menjalani pola hidup bersih dan sehat. Upaya seperti ini dapat dilaksanakan melalui sekolah dan lingkungan.

Oleh karena itu untuk dapat mengatasi infeksi cacing secara tuntas, maka upaya pencegahan dan terapi merupakan usaha yang sangat bijaksana dalam memutus siklus penyebaran infeksinya. Pemberian obat anti cacing secara berkala setiap enam bulan dapat pula dikerjakan. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan serta sumber bahan pangan adalah sebagian dari usaha pencegahan untuk menghindari dari infeksi cacing. Memasyarakatkan cara-cara hidup sehat terutama pada anak-anak usia sekolah dasar, dimana usia ini merupakan usia yang sangat peka untuk menanamkan dan memperkenalkan kebiasaan-kebiasaan baru yaitu kebiasaan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.
                                              























       BAB V
                                         KESIMPULAN

Hymenolepis nana merupakan species dari cestoda yang ukurannya sangat kecil.Hospes definitive dari cacing ini adalah manusia .Hospes rosevoarnya adalah mencit,tikus dan beberapa jenis hewan pengerat(rodent) lainnya.Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut hymenolepiasis nana..Hidup cacing ini tersebar didaerah tropis dan subtropis.Sering menyerang pada anak-anak dibawah usia 8 tahun. Upaya pencegahan dan pengendalian hymenolepiasis dapat terlaksana dengan baik jika masyarakat dapat menerapkan pola hidup bersih dan sehat dengan menjalankan prinsip personal hygiene dan sanitasi lingkungan yang baik. Upaya tersebut di atas, secara efektif dapat memutus siklus epidemiologi penyakit.


















                                    BAB VI
                        DAFTAR PUSTAKA

Mohammad MA dan Hegazi MA. “Intestinal Permeability in Hymenolepis nana    as Reflected by           non Invasive Lactulose/Mannitol Dual Permeability        Test and its Impaction on Nutritional             Parameters of Patients”.    Journal of the Egyptian Society of Parasitology. 2007 Dec; 37         (3). Pp 877—891.
Peter R. Mason and Barbara A. Patterson. “Epidemiology of Hymenolepis nana    Infections in    Primary School Children in Urban and Rural Communities    in Zimbabwe”. The Journal of            Parasitology. Vol. 80, No. 2 (Apr.,           1994), pp. 245-250. Published by: The American      Society     of    Parasitologists. Article Stable URL:    http://www.jstor.org/stable/3283754
Nazim Kanwal. “A Review on Diarrhoea Causing Hymenolepis nana Dwarf          Tapeworm”.    International Research Journal of Pharmacy. 2013.
Mariwan Musa Muhammad Bajalan. “Epidemiological Study of Hymenolepis       nana in Children in     Kalar City, Sulaimani Province”. Diyala Journal for           Pure Sciences, Vol. 6 No: 4, October 2010.
Gandahusada, S. W Pribadi dan D.I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran             Fakulas Kedokteran UI : Jakarta
Richard,dkk. 2008. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta :     EGC
Neva A and Brown HW .1994. Basic Clinical Parasitology. 6 th Ed. Prentice-Hall International Inc. hal 191-193
Ghaffar A and Brower G.2009. Cestoda (on line)      http:www.med.sc.edu:85/parasitology/cestodes.htm April,15,2010 .            Diakses 30 Nopember 2009.
Hartono. 2005. Penyakit Bawaan Makanan. Jakarta: EGC. Hart, Tony. 1997.         Color   Atlas of Medical Microbiology. London : Times Mirror           International    Publishers Limited
Estuningsih. SE. 2009. Taeniasis dan Sistiserkosis merupakan Penyakit Zoonosis Parasiter. Wartazoa Vol. 19 No. 2 hal 89-92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar